Adakah kesetiaan itu
mahal?
(om….. om……. Om……)
Ini langkah-langkah manusia
Menyusuri lorong kehidupan
Menunduk menengadah
Memandang matahari memandang
bayang-bayang
Mencari jejak malaekat?
Manusia menemukan diri antara
Puing-puing keangkuhan berserak.
Adakah kesetiaan itu mahal?
Ia: I Nyoman Setadewa
Lahir di bulan purnama
Menangis di gerimis menepis
karang
Menete pada ibu pertiwi
Menyanyi di dentingan gamelan
Menari barong
berjingkrak-jingkrak
Ia penjaga Pura
Membakar dupa untuk wangi kembang
sesajen
Di sini, di Tanah Lot, ia
menggantung mimpi
(Om…. Om….. om….. )
Musyawarah kayangan
Dewa-dewa duduk dalam kayangan
Wisnu, Bayu, Brata terkesimah
Pandangi I Nyoman lagi semedi
Shiwa angkat bicara:
Saudara ketua ia terlalu suci
Harus ada pencobaan.
Interupsi saudara ketua,
Kami keberatan: Ia anak emas.
Yang disapa ketua manggut-manggut
saja.
Justru itu. Emas harus dibakar.
Shiwa berargumen.
Palu diketut tiga kali.
SEPAKAT!
I Nyoman Setadewa
Dupa di depannya padam seketika
‘Gusti, petaka apa ini?’
Sesajen di kaki Dewa roboh
Tercecer. Hatinya hilang jiwanya
gelisah.
(cak. Cak. Cak.
Cakcakcakcakcak….!)
Ada yang berlarian di jalan
‘Gusti, arak-arakkan apa itu?
(cak. Cak. Cak.
Cakcakcakcakcak….!)
Manusia-manusia bengis
menggendong Leak di pundak
Hatinya membakar. Matanya
menyala.
Mencakar bumi liar mencari
mangsa.
Manusia-manusia dendam
Tangannya menggenggam amarah.
Merobek-robek pagar susila
Mencari norma-norma baku
Mengorek adat-adat kaku
Bapak adalah raja:
Busuk…!
Bapak tak boleh ditentang:
Buang…!
Menerobos garis-garis kemapanan
Menjarah kemajuan. Menarik.
Merampas.
Warung-warung, supermarket, kaki
lima, bintang lima:
Bakar…! Bakar…!
Manusia-manusia dendam.
Menggiring mentri-mentri korup
dengan terali
Dan para hakim suap dibodohkannya
kabinet rekayasa: bubar…!
Kabinet Maling Kundang: Bubar..!
Bubar..!
Dendam menyulut mereka
Hilang hati hilang budi
Bakar anaknya bakar bundanya
Bakar saudaranya bakar
perempuan-perempuan
Hangus…! Hangus.
Panji-panji kemanusiaan gosong.
Tinggal debu menempel di bara
hati.
I Nyoman Berlari kerumah
“GUSTI………….!”
Anak perawannya diperkosa
beramai-ramai
Dan ditinggal mati tanpa busana.
Tanya istrinya?
Istrinya pucat menampar dengan
tangisan menggugat:
Mana dentingan gamelanmu?
Mana mazmur-mazmur kebesaranmu?
Mana kidung sukacitamu?
Di mana Dewata sembahanmu,
Yang mematahkan gigi macan muda
Yang menghukum mereka yang
membajak kejahatan
Dengan tuaian kesusahan?
Tapi kau:
Ah…! Omong kosong!
I Nyoman tak tahan
Ia berlari ke pantai Kuta
Menantang menantang mentari
Yang berjemur telanjang di pasir putih
Hatinya tambah galau
Langit…!
Mengapa pangkuan menerima aku?
Mengapa ada buah dada sehingga
aku dapat menyusu?
Waktu.
Rajawali.
Matahari.
Bintang-bintang
Terkurung!
Biduk
Belatik
Kartika
Mengapa hilang warna?
Gelombang bawa pergi tanyanya
Hempaskan ke bibir-bibir senja
Karang dan kerikil memberi bisu
Udara beku.
Manusia berhenti sejenak
Enggan maju setapak
Lorong kehidupan tambah pengap
Tapi: toh!
Langkah demi langkah harus tetap
terangkat.
Ini hidup! Ia harus tetap hidup!
(om….. om……. Om……)
Purnama terbit di Tanah Lot
Dan gerimis datang begitu saja
Derita ini adalah log-log tragedy
Ini bukan petaka
Seperti tragedy badai asmara
Cinta yang memberi kesabaran dan
kekuatan
Memaknai kesetiaan. Membakar
lautan amarah.
Cinta membunuh waktu.
Mengubur keputusasahan.
Cinta:
Siapa menggugatnya?
Bulan masih tersisa seiris
setelah gerimis
I Nyoman Setadewa genggam jemari
istrinya
Bersama kembali ke kuil Dewat
Di situ:
Tangis bayinya terlahir kembali.
Januari 2000
Wisma Himo Tiong Lela
Maumere Flores NTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar