Selasa, 20 Agustus 2013

MENGGUGAT  DEWATA

Adakah kesetiaan itu mahal?
(om….. om……. Om……)
Ini langkah-langkah manusia
Menyusuri lorong kehidupan
Menunduk menengadah
Memandang matahari memandang bayang-bayang
Mencari jejak malaekat?
Manusia menemukan diri antara
Puing-puing keangkuhan berserak.

Adakah kesetiaan itu mahal?

Ia: I Nyoman Setadewa
Lahir di bulan purnama
Menangis di gerimis menepis karang
Menete pada ibu pertiwi
Menyanyi di dentingan gamelan
Menari barong berjingkrak-jingkrak
Ia penjaga Pura
Membakar dupa untuk wangi kembang sesajen
Di sini, di Tanah Lot, ia menggantung mimpi

(Om…. Om….. om….. )
Musyawarah kayangan
Dewa-dewa duduk dalam kayangan
Wisnu, Bayu, Brata terkesimah
Pandangi I Nyoman lagi semedi
Shiwa angkat bicara:
Saudara ketua ia terlalu suci
Harus ada pencobaan.
Interupsi saudara ketua,
Kami keberatan: Ia anak emas.
Yang disapa ketua manggut-manggut saja.
Justru itu. Emas harus dibakar. Shiwa berargumen.
Palu diketut tiga kali.
SEPAKAT!

I Nyoman Setadewa
Dupa di depannya padam seketika
‘Gusti, petaka apa ini?’
Sesajen di kaki Dewa roboh
Tercecer. Hatinya hilang jiwanya gelisah.
(cak. Cak. Cak. Cakcakcakcakcak….!)
Ada yang berlarian di jalan
‘Gusti, arak-arakkan apa itu?

(cak. Cak. Cak. Cakcakcakcakcak….!)
Manusia-manusia bengis menggendong Leak di pundak
Hatinya membakar. Matanya menyala.
Mencakar bumi liar mencari mangsa.

Manusia-manusia dendam
Tangannya menggenggam amarah.
Merobek-robek pagar susila
Mencari norma-norma baku
Mengorek adat-adat kaku
Bapak adalah raja:
Busuk…!
Bapak tak boleh ditentang:
Buang…!
Menerobos garis-garis kemapanan
Menjarah kemajuan. Menarik. Merampas.
Warung-warung, supermarket, kaki lima, bintang lima:
Bakar…! Bakar…!

Manusia-manusia dendam.
Menggiring mentri-mentri korup dengan terali
Dan para hakim suap dibodohkannya
kabinet rekayasa: bubar…!
Kabinet Maling Kundang: Bubar..! Bubar..!

Dendam menyulut mereka
Hilang hati hilang budi
Bakar anaknya bakar bundanya
Bakar saudaranya bakar perempuan-perempuan
Hangus…! Hangus.
Panji-panji kemanusiaan gosong.
Tinggal debu menempel di bara hati.

I Nyoman Berlari kerumah
“GUSTI………….!”
Anak perawannya diperkosa beramai-ramai
Dan ditinggal mati tanpa busana.
Tanya istrinya?
Istrinya pucat menampar dengan tangisan menggugat:
Mana dentingan gamelanmu?
Mana mazmur-mazmur kebesaranmu?
Mana kidung sukacitamu?
Di mana Dewata sembahanmu,
Yang mematahkan gigi macan muda
Yang menghukum mereka yang membajak kejahatan
Dengan tuaian kesusahan?
Tapi kau:
Ah…! Omong kosong!

I Nyoman tak tahan
Ia berlari ke pantai Kuta
Menantang menantang mentari
Yang berjemur telanjang  di pasir putih
Hatinya tambah galau
Langit…!
Mengapa pangkuan menerima aku?
Mengapa ada buah dada sehingga aku dapat menyusu?

Waktu.
Rajawali.
Matahari.
Bintang-bintang
Terkurung!
Biduk
Belatik
Kartika
Mengapa hilang warna?

Gelombang bawa pergi tanyanya
Hempaskan ke bibir-bibir senja
Karang dan kerikil memberi bisu
Udara beku.

Manusia berhenti sejenak
Enggan maju setapak
Lorong kehidupan tambah pengap
Tapi: toh!
Langkah demi langkah harus tetap terangkat.
Ini hidup! Ia harus tetap hidup!

(om….. om……. Om……)
Purnama terbit di Tanah Lot
Dan gerimis datang begitu saja
Derita ini adalah log-log tragedy
Ini bukan petaka
Seperti tragedy badai asmara
Cinta yang memberi kesabaran dan kekuatan
Memaknai kesetiaan. Membakar lautan amarah.
Cinta membunuh waktu.
Mengubur keputusasahan.
Cinta:
Siapa menggugatnya?

Bulan masih tersisa seiris setelah gerimis
I Nyoman Setadewa genggam jemari istrinya
Bersama kembali ke kuil Dewat
Di situ:
Tangis bayinya terlahir kembali.


 Appeles Hugo
Januari 2000
Wisma Himo Tiong Lela
Maumere Flores NTT







Tidak ada komentar:

Posting Komentar